Analisis 5 standar akreditasi faskes primer. Kunci peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan pengelolaan risiko klinis.
Di era jaminan kesehatan universal, kualitas layanan fasilitas kesehatan (Faskes) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Indikator utama yang menjamin kualitas ini adalah **Akreditasi**. Akreditasi Faskes adalah pengakuan formal yang diberikan oleh lembaga independen terhadap komitmen Faskes (baik Puskesmas, Klinik Pratama, maupun rumah sakit) dalam memenuhi standar mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Bagi Fit Media, penting untuk mengedukasi masyarakat dan pengelola Faskes bahwa akreditasi adalah siklus berkelanjutan, bukan sekadar sertifikat. Ia adalah fondasi yang memastikan setiap pasien menerima pelayanan terbaik yang setara. Artikel *evergreen* ini akan mengupas lima pilar utama yang dinilai dalam standar akreditasi Faskes, khususnya di tingkat primer, dan dampaknya yang transformatif.
Pilar I: Kepemimpinan dan Manajemen Mutu
Pilar pertama akreditasi adalah memastikan bahwa Faskes memiliki kepemimpinan yang kuat dan sistem manajemen yang terstruktur untuk menggerakkan dan mempertahankan budaya mutu di seluruh organisasi.
Komitmen Pimpinan Faskes
Akreditasi menuntut adanya komitmen nyata dari pimpinan Faskes. Hal ini mencakup penetapan visi, misi, dan sasaran mutu yang jelas, serta alokasi sumber daya yang memadai (baik dana maupun personel) untuk pelaksanaan program peningkatan mutu. Kepemimpinan harus menjadi contoh dalam mengimplementasikan standar operasional prosedur (SOP).
Manajemen Risiko Klinis
Sistem manajemen harus mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggulangi risiko klinis maupun non-klinis. Ini melibatkan pelaporan insiden keselamatan pasien (*patient safety incidents*), analisis akar masalah (*Root Cause Analysis*), dan implementasi perbaikan berkelanjutan. Manajemen risiko ini wajib terdokumentasi dengan baik sebagai bukti upaya pencegahan kerugian.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Pilar Kepemimpinan dan Manajemen Mutu (KMP) seringkali menjadi titik awal kegagalan atau keberhasilan akreditasi. Tanpa dukungan kuat dari manajemen puncak, upaya peningkatan mutu di tingkat operasional akan sia-sia. Akreditasi menuntut struktur organisasi yang jelas, deskripsi tugas yang terperinci, dan komunikasi efektif antar unit. Selain itu, Faskes harus membuktikan bahwa mereka memiliki sistem yang efisien untuk mengelola informasi, termasuk rekam medis elektronik (RME) yang terintegrasi dan aman. Efisiensi ini memastikan bahwa data pasien akurat, mudah diakses oleh tenaga kesehatan yang berwenang, dan dilindungi dari penyalahgunaan. Hal ini krusial untuk keputusan klinis yang tepat dan cepat, mengurangi potensi kesalahan medis. Peningkatan mutu yang berkesinambungan (Continuous Quality Improvement/CQI) harus menjadi filosofi, bukan hanya program tahunan, didorong oleh data dan indikator mutu yang terukur.
Pilar II: Peningkatan Mutu dan Keselamatan
Inti dari akreditasi adalah memastikan pelayanan yang diberikan Faskes tidak hanya baik, tetapi juga aman bagi pasien. Pilar ini berfokus pada implementasi program Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP).
Standar Keselamatan Pasien
Faskes wajib menerapkan enam sasaran keselamatan pasien internasional, antara lain: identifikasi pasien yang benar (minimal dua cara), komunikasi efektif, keamanan obat yang perlu diwaspadai (*high alert*), memastikan ketepatan lokasi, prosedur, dan pasien operasi, serta pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan (HAIs).
Pengukuran Indikator Kualitas
Kualitas harus terukur. Faskes harus menetapkan dan memantau indikator mutu klinis (IMK) dan indikator mutu nasional (IMN). Contohnya adalah kecepatan respons gawat darurat, ketepatan waktu pemberian antibiotik, atau kepuasan pasien. Data ini harus dikumpulkan, dianalisis, dan dijadikan dasar untuk tindakan perbaikan (Plan-Do-Check-Action/PDCA).
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Pilar PMKP mendasari kepercayaan publik. Akreditasi menuntut Faskes untuk tidak hanya merespons insiden, tetapi secara proaktif mencari tahu potensi risiko yang ada. Salah satu aspek penting di sini adalah budaya belajar dari kesalahan. Faskes harus memiliki sistem pelaporan insiden yang bersifat non-punitive, di mana tenaga kesehatan merasa aman melaporkan kesalahan tanpa takut dihukum, sehingga akar masalah yang sebenarnya dapat diidentifikasi. Program pengendalian infeksi, termasuk kebersihan tangan yang ketat dan sterilisasi alat yang tepat, adalah komponen vital. Selain itu, pelibatan pasien dan keluarga dalam proses keselamatan, melalui edukasi dan persetujuan tindakan (informed consent), juga merupakan poin krusial. Ketika Faskes dapat membuktikan bahwa mereka secara konsisten mengukur dan meningkatkan indikator kualitas, ini adalah sinyal kuat bagi masyarakat bahwa mereka adalah penyedia layanan yang bertanggung jawab dan aman.
Pilar III: Program Layanan Berfokus Pasien
Layanan yang efektif tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga menempatkan kebutuhan, nilai, dan preferensi pasien sebagai pusat dari semua keputusan klinis dan administratif.
Akses dan Kontinuitas Layanan
Pilar ini memastikan pasien mendapatkan akses yang mudah dan tepat waktu ke layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini termasuk proses pendaftaran, asesmen awal (triase), hingga rujukan yang terkoordinasi. Harus ada kontinuitas, di mana informasi pasien mengalir mulus antar unit atau antar Faskes (jika dirujuk), menghindari pengulangan tes yang tidak perlu.
Asesmen dan Perencanaan Perawatan
Proses asesmen harus komprehensif, mencakup fisik, psikologis, sosial, dan kebutuhan spiritual pasien. Berdasarkan asesmen, rencana perawatan (termasuk farmasi dan gizi) disusun bersama pasien dan keluarga, memastikan adanya partisipasi aktif. Rencana ini harus bersifat individual dan tercatat dengan jelas dalam rekam medis.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Konsep *Patient-Centered Care* adalah kunci keberhasilan akreditasi. Ini melampaui sekadar sopan santun; ini tentang menghargai hak-hak pasien. Akreditasi memastikan bahwa Faskes memiliki prosedur untuk menghormati hak pasien, termasuk hak privasi, hak mendapatkan informasi, dan hak menolak pengobatan. Komunikasi yang efektif adalah esensial; tenaga kesehatan harus mampu menjelaskan kondisi, risiko, dan manfaat pengobatan dalam bahasa yang mudah dipahami pasien. Selain itu, manajemen nyeri dan kebutuhan paliatif harus diintegrasikan dalam perencanaan perawatan. Faskes yang terakreditasi menunjukkan bahwa mereka mengelola siklus layanan pasien, mulai dari kedatangan hingga kepulangan atau rujukan, dengan standar yang sama tinggi, memastikan transisi perawatan yang aman dan terinformasi.
Pilar IV: Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Kualitas layanan sangat bergantung pada kualitas individu yang memberikannya. Pilar ini fokus pada manajemen, pengembangan, dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) Faskes.
Kualifikasi dan Kinerja Staf
Setiap staf Faskes (baik klinis maupun non-klinis) harus memiliki kualifikasi, lisensi, dan sertifikasi yang sesuai dengan tugasnya. Faskes wajib memiliki proses kredensialing yang ketat untuk dokter dan perawat. Selain itu, sistem penilaian kinerja harus diterapkan untuk memastikan staf mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya secara berkelanjutan.
Pelatihan dan Pengembangan Staf
Faskes harus menyediakan program orientasi yang komprehensif bagi staf baru dan pelatihan berkelanjutan untuk semua staf, terutama terkait prosedur baru, keselamatan pasien, dan standar akreditasi. Pelatihan harus didasarkan pada kebutuhan Faskes dan hasil penilaian kinerja. Lingkungan kerja harus mendukung pertumbuhan profesional.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Pengelolaan SDM yang baik memastikan Faskes selalu memiliki staf yang kompeten dan berdedikasi. Akreditasi mendorong Faskes untuk membuat perencanaan kebutuhan staf yang realistis, memastikan rasio perawat:pasien yang aman, dan beban kerja yang wajar untuk mencegah *burnout*. Ini juga mencakup perlindungan staf dari risiko di tempat kerja, seperti paparan infeksi atau kekerasan. Kualitas pelayanan sangat terpengaruh oleh moral dan kompetensi staf. Dengan investasi pada SDM, Faskes secara tidak langsung berinvestasi pada kualitas pelayanan klinis. Selain itu, akreditasi menyoroti pentingnya komunikasi dan kolaborasi tim (*interprofessional collaboration*). Staf klinis (dokter, perawat, apoteker) dan non-klinis harus bekerja sebagai satu tim yang terintegrasi untuk memberikan perawatan yang holistik dan terpusat pada pasien.
Pilar V: Manajemen Lingkungan dan Sarana
Keselamatan pasien juga ditentukan oleh lingkungan fisik Faskes itu sendiri. Pilar ini memastikan bahwa fasilitas, peralatan, dan lingkungan dikelola secara aman dan efektif.
Pengelolaan Fasilitas Fisik
Faskes harus memiliki program pemeliharaan preventif yang terjadwal untuk semua peralatan medis dan non-medis, termasuk sistem ventilasi, listrik, dan air. Lingkungan fisik harus memenuhi standar keselamatan, termasuk pencegahan kebakaran, jalur evakuasi yang jelas, dan ketersediaan alat pemadam api yang berfungsi.
Keamanan dan Pengendalian Limbah
Pentingnya pengendalian limbah medis (infeksius dan non-infeksius) menjadi sorotan utama. Faskes harus memiliki prosedur yang ketat dan terstandarisasi untuk pemilahan, penyimpanan, dan pembuangan limbah yang aman. Pengelolaan bahan berbahaya (termasuk bahan kimia dan radioaktif, jika ada) juga harus sesuai regulasi, menjamin keamanan pasien, staf, dan lingkungan.
Pengembangan Naratif (untuk mencapai 400 kata): Pilar Manajemen Lingkungan dan Sarana (MFS) menjamin bahwa Faskes adalah tempat yang aman untuk bekerja dan menerima perawatan. Akreditasi mendorong Faskes untuk melakukan inspeksi keamanan rutin dan simulasi tanggap darurat (misalnya, simulasi kebakaran) untuk memastikan semua staf siap menghadapi situasi kritis. Selain itu, Faskes harus memiliki sistem inventaris yang baik untuk alat-alat medis penting dan obat-obatan, memastikan ketersediaan pasokan yang memadai tanpa *overstock* atau *expired*. Aspek penting lain adalah manajemen teknologi informasi dan komunikasi (TIK), termasuk keamanan *server* dan cadangan data. Dengan standar MFS yang tinggi, pasien dijamin dirawat di lingkungan yang tidak hanya bersih tetapi juga secara struktural dan operasional aman dari risiko fisik dan lingkungan.
Sumber dan Referensi Standar
Artikel ini disusun berdasarkan panduan dan regulasi akreditasi fasilitas kesehatan primer di Indonesia:
- Kementerian Kesehatan RI: Peraturan tentang Akreditasi Faskes Tingkat Pertama.
- Komisi Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (KAFKTP): Standar dan Pedoman Survei Akreditasi.
- Joint Commission International (JCI): Prinsip-prinsip Keselamatan Pasien dan Mutu Pelayanan yang diadopsi secara global.
- Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI): Rujukan tentang Manajemen Risiko dan Keselamatan Pasien.
- WHO (World Health Organization): Panduan global mengenai Standar Kualitas Pelayanan Kesehatan.
Credit :
Penulis : Brylian Wahana






Komentar